ChiFEC UAD dan SEAMEO CECCEP Kembali Lakukan FGD di Pura Pakualaman Yogyakarta

/ChiFEC UAD dan SEAMEO CECCEP Kembali Lakukan FGD di Pura Pakualaman Yogyakarta

ChiFEC UAD dan SEAMEO CECCEP Kembali Lakukan FGD di Pura Pakualaman Yogyakarta

Pada Focus Group Discussion kali ini ChiFEC UAD (Children and Famili Education Center Universitas Ahmad Dahlan), Program Studi PGPAUD UAD, dan SEAMEO CECCEP (Southeast Asian Ministers of Education Organization Centre for Early Childhood Care Education and Parenting) menggandeng 4 narasumber dari lingungan Pura Pakualaman di antaranya, GPH Indrokusumo, KPH Kusumoparatho, KMT Ndoyodipkyo, dan BRAY Indrokusumo.

Diawali dengan pemaparan keresahan terhadap pola pengasuhan yang sudah meninggalkan nilai kebudayaan. Kemudian tim peneliti menemukan keresahan jika informasi penelitian ini hanya bersumber melalui buku, dikhawatirkan kondisi di dalam buku tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Menurut PERDA Prov. DIY No. 05 tahun 2011 tentang pengasuhan, terdapat 18 nilai pola pengasuhan berbasis budaya. Sebagai contoh anak diajari dengan berbicara menggunakan bahasa Jawa, poin tersebut telah termasuk ke dalam nilai kesopanan. Meskipun demikian pola pengasuhan tidak bisa dipaksakan dan difokuskan pada nilai pola pengasuhan yang ada.

“Pola pengasuhan di dalam benteng (Pura Pakualaman) peran seorang ibu hanyalah menyusui. Sementara pengasuhan, bayi sejak lahir telah diserahkan kepada Emban. Sampai mereka dewasa atau bisa mandiri” ungkap BRAY Indrokusumo dalam diskusi, Sabtu (12/11). Emban merupakan seorang pengasuh yang bertugas mengajarkan tata krama dan berbahasa di lingkungan dalam benteng.

Sampai sekarang adat budaya di dalam Pura masih dijalankan. Kemudian dijelaskan juga jika proses pembelajaran di lingkup Pura menggunakan ilmu titen atau mengamati. Faktanya budaya jawa bisa dimasukkan ke mana saja, namun pengaplikasiannya yang kurang.

KPH Kusumoparatho mengungkapkan bahwa seharusnya unsur-unsur potensi manusia terhadap budaya bukanlan cipta, rasa, dan karsa, melainkan rasa, cipta, dan karsa. Sebab rasa merupakan unsur ikatan sejati antara ruh dan jasad. Kemudian cipta, mewakilkan akal. Setelah bayi lahir memiliki rasa lapar, lalu mampu berpikir dengan akal. Yang terakhir barulah karsa (kehendak).

Kebiasaan mendongengkan anak ketika kecil, berdampak pada hati. Meskipun anak belum bisa berpikir mengenai cerita yang disampaikan, namun anak sudah bisa merasakan dengan hati.

Selain mengenai pola pengasuhan di dalam FGD tersebut, juga menjelaskan tentang adat-adat jawa yang masih dijalankan saat calon bayi masih dalam kandungan, seperti 7 bulanan dan brokohan. (PM)

 

By | 2022-11-22T22:26:38+00:00 November 21st, 2022|Berita|0 Comments